Pada laporan risetnya, Citibank memperingatkan potensi inflasi besar di emerging markets. Pemerintah negara berkembang harus mampu merancang keseimbangan antara keuangan serta apresiasi valuta supaya kendala ini bisa dijinakkan.
Kenaikan inflasi akibat harga energi bisa berdampak langsung maupun tidak langsung. Efek secara langsung lebih terlihat pada detil Consumer Price Index (CPI) negara emerging dibanding Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Sedangkan pengaruh tidak langsung dapat ditilik pada kenaikan harga susulan pada komoditi dan bahan pangan lain. Pasalnya, lonjakan harga minyak selalu memicu dua akibat; kenaikan biaya produksi pangan dan permintaan global pada biofuels.
Yang paling memprihatinkan dari fenomena ini adalah ikut melambungnya biaya produksi pangan dari pos transportasi, pupuk dan vitamin pertanian. Analis dari Citi memaparkan bahwa sudah terjadi 2 periode, dimana harga minyak berdampak besar terhadap pangan, yakni pada 2007/2008 dan awal 1970-an. Jika pada 3-4 tahun lalu harga meroket karena kelebihan demand, maka pada 1972-1975 kenaikan minyak dipicu oleh keterbatasan stok. Apapun penyebabnya, situasi seperti ini hanya membawa dampak buruk bagi rakyat, sebelum berujung pada kinerja korporasi. Penurunan daya beli akan mempersulit penjualan produk apapun ke pasar sehingga nilai-nilai aset dan ekuitas ikut surut. Jika begini adanya, tidak akan ada lagi sektor yang steril dari guncangan inflasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar